Selasa, 04 Desember 2007

THARIKH ILMU KIMIA



JABIR BIN HAJJAN

(Perintis Ilmu Kimia Dalam Islam)


Oleh:

R.A. Syukuri Nikmah



Jabir bin Hajjan dilahirkan di Khurasan, tahun 120 H. Namanya tidak bisa dihapus begitu saja dari sejarah Islam. Karya-karya cemerlangnya pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab sejarah telah menjadi saksi bahwa Jabir bin Hajjan seorang ahli kimia Islam yang begitu berjasa kepada dunia ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila sarjana-sarjana muslim senantiasa menyebutnya sebagai “Guru Besar” dan “Bapak Kimia Islam”.

Sebagai seorang ilmuwan, Jabir bin Hajjan tidak puas begitu saja dengan teori-teori sebelumnya. Ia terus mengadakan penelitian dan percobaan tanpa mengenal lelah dan putus asa. Ternyata teori yang ditemukannya mampu menumbangkan teori-teori sebelumnya. Sekalipun dalam mengemukakan kesimpulannya ia tergolong ekstrim, namun sikapnya yang demikian selalu diikuti dengan bukti-bukti yang nyata.

Diantara keistimewaan seorang Jabir bin Hajjan adalah ketelitian dan kejujurannya dalam mengadakan eksperimen. Ia menyejajarkan antara teori dan praktek. Sebab menurutnya untuk mencapai suatu pengetahuan haruslah dengan percobaan dan praktek. Maka pantaslah jika Jabir bin Hajjan mampu menciptakan konsep yang jelas. Berdasarkan penyelidikan para sarjana Yunani, dimana pada waktu itu hanya dikenal empat unsur dalam teori kimia yakni air, api, tanah dan udara. Selanjutnya dikenal sifat yang empat pula yaitu sejuk, panas, kering, dan lembab. Sementara Aristoteles [filsuf yunani] menambahkan dua unsur pertengahan antara api dan tanah yaitu asap. Sedangkan unsur pertengahan antara udara dan air yaitu konsistensi air. Kesimpulan Aristoteles adalah bahwa terjadinya mineral disebabkan melarutnya “kedua cara” perantaraan tersebut dalam perut bumi.

Namun teori tersebut menurut Jabir, mineral itu tidak mungkin terdiri dari kedua unsur tersebut. Justru hal itu berubah kedalam dua unsur baru yaitu air raksa dan belerang. Karena pelarutan keduanya di perut bumi akan menjadi mineral. Kesimpulan Jabir memang terkesan aneh. Tapi pada akhirnya diakui oleh para kimiawan. Bahkan telah menjadi dasar teori “Phlogiston” yang berkembang selanjutnya. Teori ini menyatakan, semua substansi yang bisa terbakar dan mineral-mineral yang dapat membeku karena zat-zat air raksa, garam dapur dan belerang.

Jabir bin Hajjan sudah banyak menciptakan alat untuk penyelidikan dan percobaan. Melalui beragam penelitiannya, ia mengungkapkan soal penguapan, penyulingan [destilasi], cara pembekuan kristal dan sebagainya. Tidak hanya itu, ia mampu menunjukkan perbedaan antara penyulingan dan penyaringan dengan mengemukakan beberapa contoh, diantaranya bahwa untuk memperoleh zat warna merah [vermillion] bisa dilakukan dengan penyulingan air raksa.

Disamping itu, Jabir berhasil mengeluarkan zat-zat kimia seperti nitrat perak [silver nitrate] dan asam nitrat [nitrate acid]. Dialah yang pertama kali menemukan pelarutan nitrat perak dengan pelarutan garam dapur yang akhirnya menjadi penyebab adanya pengendapan putih dan tembaga yang menimbulkan nyala hijau.

Begitulah sosok Jabir bin Hajjan, berkat kecemerlangan pikirannya dan kesungguhannya belajar membuat sarjana-sarjana barat dan muslim merasa kagum. Dia telah menulis kurang lebih 80 buku dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di dunia. Dan dari penemuan-penemuan sang Jabir, di Eropa perkembangan Ilmu Kimia tumbuh pesat. Berkat jasanya yang luar biasa [extradionary] namanya dikenal sepanjang zaman oleh para pengagumnya **Wassalam

Sabtu, 27 Oktober 2007

ARTIKEL PENDIDIKAN FORMAL


LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL BERJASAD PESANTREN

(Kerangka Menuju Pendidikan Ideal Di Indonesia Baru)


Oleh:

R.A. Syukuri Nikmah



Benarkah konsep metode pendidikan pesantren modern cukup relevan bila diadopsi oleh sebuah lembaga pendidikan non pesantren, seperti halnya SLTP dan SMU ? Adalah sebuah paradigma spekulatif sekaligus solusi, yang mencuat dalam tatanan praktis kehidupan masyarakat modern (madani) mengenai corak pendidikan yang ideal untuk diterapkan di Indonesia. Mayoritas lembaga pendidikan formal di Indonesia, lebih apresiatif kepada ilmu-ilmu umum (IPA dan IPS…dsb) dan mendisparase ilmu keagamaan. Padahal, muatan pendidikan yang hanya condong pada salah satu aspek penting, akan menimbulkan suatu kepribadian yang pecah (split of personality). Artinya, pengingkaran atau pereduksian terhadap kemanusiaan dan objektivasi dimensi kemanusiaan yang transenden cenderung menimbulkan kepribadian yang hampa. Pintar secara kognitif, tetapi kering dalam mentalitas. Implikasinya, anak didik tumbuh berkembang sebagai pribadi serba obyektif bahkan bisa terlepas dari nilai moralitas, spiritualitas, religiusitas dan norma-norma yang berlaku, sehingga menyajikan side effect-negatif terhadap diri dan masyarakat sekitarnya.

Ratifikasi masyarakat modern (madani) pada suatu lembaga pendidikan ditentukan oleh tingkat atau kadar kualitas pendidikannya. Kualitas pendidikan ini difersifikasikan kedalam dua tataran, yaitu : proses pendidikan dan hasil pendidikan (baca: Arah Baru Pendidikan Islam). Proses pendidikan menggambarkan suasana pembelajaran yang aktif, dinamis serta konsisten dengan program dan target pembelajaran. Sedangkan hasil pendidikan merujuk pada kualitas lulusan dalam bidang kognitif, afektif dan psikomotorik.

Adalah pendidikan pesantren modern (memfungsikan ilmu umum dan ilmu keagamaan), secara makro menunjukkan potensi fleksibilitas pendidikan yang sesuai dengan tuntutan modernisasi. Hakekat pendidikan ini adalah proses rekayasa rancang-bangun kepribadian manusia (anak didik). Anak didik dalam porsi pendidikan pesantren ini menjadi sangat sentral. Statemen ini mengandung dua konsep penting. Pertama, pendidikan pesantren modern memiliki basis pemikiran filosofis yang memberi kerangka pandang holistik tentang manusia. Kedua, pendidikan pesantren modern meletakkan anak didik sebagai titik tolak (starting point), serta titik tuju (ultimate goal) dalam perspektif kemanusiaan yang diformulasikan secara filosofis.

Esensi pendidikan pesantren modern (normatif) bersumber dari doktrin agama Islam yang universal. Karakter budaya pendidikan pesantren ini memungkinkan anak didik belajar secara tuntas. Term budaya belajar tuntas identik dengan konsep “mastery learning”, dimana pendidikan didesain secara konstruktif, tidak terbatas pada pola pentransferan ilmu pengetahuan dari guru ke murid (top down), tetapi juga pembentukan aspek kepribadian anak didik secara totalitas. Pentransferan ini terkontaminasi oleh target dan waktu penyelesaian sesuai ketentuannya sendiri (pesantren).

Dengan demikian, pengajaran di Lembaga pendidikan formal hendaknya menjiplak metode di pesantren modern. Kendati secara defacto menanggalkan kurikulum dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) konvensional, tetapi secara dejure kurikulum tersebut telah terkonstruksi sedemikian rupa tanpa memarjinalkan unsur-unsur kemampuan dasar yang dirancang oleh kurikulum nasional (pemerintah). Implikasinya, tenaga pengajar akan lebih memiliki gerak ruang lingkup yang luas, dalam melakukan berbagai inovasi kreativitas untuk pendekatan pembelajaran yang lebih baik. Dari segi pembinaan, hendaknya lembaga pendidikan formal mengasramakan anak didiknya. Didalam asrama tersebut, diterapkan disiplin tinggi guna pembentukan aspek kepribadian secara intensif lahir maupun batin. Hal ini berfungsi menumbuhkan segi mental dan kemandirian dengan tata aturan pergaulan yang harmonis, aktif dan suasana yang kondusif.

Usaha perwujudan fenomena di atas, membutuhkan langkah-langkah praktis, melalui komutasi perubahan strategis dalam bidang manajeman. Pada konteks ini, otoritas kepala sekolah (lembaga pendidikan formal), dituntut memiliki visi, wawasan, kolegialitas, serta keterampilan manajerial yang mantap, ketika memainkan perannya sebagai lokomotif perubahan idealis futuritas lembaga pendidikan formal.

Resume dari gagasan di atas, menurut asumsi penulis bahwa karakter metode pendidikan pesantren modern, merupakan identitas yang perlu tercermin dalam proses pengajaran di Indonesia. Suatu keniscayaan guna melakukan perubahan ke arah lembaga pendidikan formal yang lebih baik, agamis, elastis sehingga tercipta sumber daya manusia yang berkualitas unggul dan bermoralitas tinggi.**Wassalam.