Nama lengkapnya adalah Abu Ja`far Muhammad bin Muhammad bin al-Husayn al-Khurasani al-Khazin. Beliau seorang ahli di bidang fisika dan matematika. Ia merupakan anak didik Abu al-Fadh Ibnu al-Amid, seorang menteri dari Rukn ad-Dawl yang berkuasa pada masa pemerintahan Dinasti Buwayhi-Iran.
Salah satu objek penelitian al-Khazin adalah gumpalan udara. Ia berpendapat bahwa udara mempunyai kekuatan yang dapat mendorong serupa aliran air. Ketika berada di bumi, massasuatu benda yang melayang di udara akan berkurang. Kesimpulannya, massa benda sangat tergantung pada suhu udara. Itulah hasil analisis al-Khazin yang kemudian mengilhami pembuatan barometer.
Setelah Newton menemukan teori gravitasi bumi, pemikiran suhu udara yang dikemukakan al-Khazin memiliki peran yang sangat berarti. Teori kepadatan suhu udara ternyata sesuai dengan teori gravitasi bumi. Teori ini erat kaitannya dengan gumpalan-gumpalan yang ada pada setiap lapisan udara.
Al-Khazin juga melakukan berbagai penelitian tentang benda-benda terapung dan massa benda, baik padat, cair maupun yang bervariasi. Penemuan beliau lainnya adalah alat pengukur berat benda di udara dan air. Konon, al-Khazin membuat lima model alat semacam ini. Salah satunya berbentuk neraca yang dilengkapi alat barometer untuk mengukur tingkat kepadatan. Ketika kepadatan udara dihubungkan dengan suhu panas, maka pengukuran yang dilakukan juga terkait dengan suhu panas. Pemikiran ini kemudian mengilhami Galileo untuk membuat termometer.
Atas jasa-jasanya, al-Khazin dianggap sebagai penemu tekanan dan ukuran suhu panas, dan kemudian dikembangkan oleh Torriceli dan Galileo. Beliau juga melakukan penelitian tentang gravitasi. Ia menguraikan banyak hal tentang gravitasi dalam bukunya yang berjudul “Mizanul Hikmah”. Selain membahas gravitasi, buku tersebut juga mengupas tentang hidrostatika.
Al-Khazin dianggap sebagai ilmuwan yang telah memberikan kontribusi besar bagi ilmu pengetahuan baik di barat maupun di timur. Selain menemukan alat ukur udara, beliau mampu memecahkan soal yang diajukan Archimedes dalam bukunya yang berjudul The Sphere and The Cylinder. Hal ini dibuktikan dengan menemukan sebuah rumus untuk mengetahui permukaan sebuah segitiga sebagai fungsi sisi-sisinya. Ia menggunakan bagian-bagian kerucut, dan ia pun berhasil memecahkan bentuk persamaan x3 + a2b = cx2 atau persamaan mahani. *Wassalam
Sebelum diciptakan manusia melakukan perjanjian dengan Tuhannya (baca:Allah),untuk menyakini fitrah yang diyakininya. Adapun yang dibawa manusia sejak lahir hanyalah fitrah biasa. Yaitu ciptaan dasar yang menunjukkan keterpautan langsung terhadap sang Maha Pencipta yang selanjutnya merupakan modal dasar baginya untuk melangsungkan tugas “kekakhalifahan”di dunia.
Modal dasar itu tiada lain pendengaran, penglihatan dan akal budi. Kemampun basic ini tidak bias berkembang dengan sendirinya, melainkan harus aktualisasikan dengan belajar dan berinteraksi. Orang tua dan lingkungan menjadi faktor penentu tidak baik buruk putra-putrinya menentukan sikap hidup di alam fana ini.
Karena tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan hidup di dunia ini begitu besar, maka dibandingkan dengan hewan, manusia membutuhkan waktu yang lebih memadai (lama). Hal ini untuk belajar menyesuaikan diri dan lingkungannya, mengatasi hambatan-hambatan yang ada didalamnya serta diharapkan mampu menata dunianya secara utuh. Sehingga kehidupannya lebih mapan dan menemukan titik temu antara fitrah dan realisasinya. Pengaplikasian nilai-nilai semacam ini bisa dilaksanakan melalui beberapa fase:
1. Aktualisasi Fitrah Agama Pada Balita
Aktualisasi pada balita merupakan persoalan yang sangat urgen bagi semua umat. Aktualisasi nilai fitrah ini selalu menjadi segmen utama untuk mengembangkan pendidikan manusia pada masa awal. Memang pengalaman ini sangatlah sulit untuk diterapkan pada balita karena membutuhkan waktu yang lama. Pendidikan yang diterapkan orang tua dengan ucapan Ilahi Rabbi terhadap bayi yang baru lahir, dimulai adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kirinya, dilakukan untuk memantapkan keyakinan fitrah pada sang bayi agar kelak tumbuh sebagai insan mulia dan diridhoi Tuhan. Begitu juga bagi ummat non-muslim, bayi yang baru lahir disambut dengan baik bahkan dirayakan dengan pesta meriah. Peran dan tanggung jawab orang tua sangat besar untuk mengaktualisasikan nilai fitrah pada balita. Dan setiap orang tua memiliki cara tersendiri untuk melaksanakan hal tersebut.
2. Aktualisasi Fitrah Agama Pada Anak
Aktualisasi ini dimaksudkan bagaimana pendidikan itu dilaksanakan, khususnya pendidikan agama oleh orang tua terhadap putra-putrinya supaya menjadi anak yang sholeh. Agar stigma ini tercapai, setidaknya orang tua akan melakukan penamaan akhlak dan budi pekerti yang baik.
Biasanya pada anak terdapat masa estetik yang dikenal juga dengan perkembangan rasa keindahan. Nuansa perkembangan anak yang tampak adalah terutama fungsi panca indera. Panca indera sangat peka, dan saat itulah muncul gejala kenakalan yang umum berkisar antara usia 3-5 tahun. Tidak jarang anak menentang kehendak orang tuanya, egoisme mendadak tinggi, sembrautan, cengeng dan lain sebagainya. Oleh karena itu, orang tua diharapkan bisa mengarahkan anak-anaknya kepada hal-hal yang positifseperti: mengajak mereka (si anak) beribadah bersama, mengajarkan pelajaran agama terutama pendidikan akhlak dan mengajarkan budi pekerti yang baik, sehingga anak tersebut terbiasa dengan tingkah laku sebagaimana diajarkan.
3. Aktualisasi Fitrah Agama Pada Remaja
Untuk memudahkan pembahasan, saya akan mengklasifikasikan masa remaja menjadi beberapa spektrum, yaitu : a). Masa remaja awal ;b). Masa remaja madya ; c) Masa remaja akhir
a. Masa Remaja Awal
Masa ini ditandai oleh sifat-sifat negatif yang biasa timbul pada umumnya. Kaidah negatif yang sering timbul semisal rasa tidak senang, malas, kurang suka gerak, lekas lelah, kebutuhan untuk tidur lebih besar porsinya dan lain sebagainya. Gejala ini kerapkali menuai pertanyaan para ahli, sehingga mereka menyebutnya sebagai gejala yang mempunyai pangkal biologis. Keadaan ini membawa perubahan-perubahan yang cepat dalam diri si remaja tersebut. Apabila orang tua tidak mampu membimbing dan mengarahkannya pada perilaku baik, maka sikap-sikap buruk akan senantiasa melingkupi setiap tingkah laku sang remaja yang bersangkutan.
b. Masa Remaja Madya
Untuk pertama kalinya remaja sadar akan kesepian yang tidak pernah dialami pada masa-masa sebelumnya. Kesepian dalam penderitaan yang nampaknya tidak ada orang yang mengerti dan memahaminya dan juga menerangkannya. Reaksi pertama terhadap gangguan ketenangan dan keamanan batin itu ialah proses terhadap sekitarnya yang dirasa sekonyong-konyongnya menelantarkan dan memusuhinya.
Langkah selanjutnya adalah kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya. Teman yang dapat memaknai suka dan dukanya. Disinilah mulai tumbuh dalam diri remaja itu dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang dapat dipandang bernilai, pantang dijunjung tinggi dan dipuja. Pada era ini remaja biasanya mengalami goncangan batin.
Proses terbentuknya pendirian hidup, pandangan hidup dan cita-cita itu dapat dipandang sebagai penemuan nilai-nilai hidup di dalam eksplorasi keremajaannya. Secara ringkas, proses ini dapat dideskripsikan melalui tiga langkah berikut : (1) Remaja merindukan sesuatu yang dianggap bernilai, pantas dipuja dari keadaan kehidupan batin. Demikian itulah maka terlahir sajak-sajak alam, (2) Rasa kebangsaan tumbuh dengan subur, (3) Remaja tiba-tiba mulai menentukan pendirian hidupnya ke depan.
Dengan gejala-gejala yang tumbuh seperti di atas, tanggung jawab orang tua adalah mengarahkan pada pendidikan agama dan segala sesuatuyang bersifat agamis. Sehingga mereka mengerti tentang kehidupan yang baik dan taat terhadap peraturan yang telah disepakati dan berlaku baik ditingkat keluarga, masyarakat maupun negara.
c. Masa Remaja Akhir
Setelah remaja menentukan sikap kemandiriannya, berarti tercapailah masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan masa keremajaanya. Yaitu menentukan pendirian hidup. Maka kemudian termasuklah aktualisasi nilai fitrah terhadap orang dewasa.
Dari eksplikasi di atas, dapat dikonklusikan bahwa nilai-nilai fitrah agama seyogjanya dilakukan secara bertahap menurut kadar usia (umur) manusia itu tersendiri. Oleh karena itu, pengaplikasian nilai fitrah agama dalam realitas kehidupan memerlukan durasi waktu yang relatif lama. Karena fitrah itu sendiri membutuhkan bimbingan yang efektif dan efisien. Amien
Islam dan Demokratis di Indonesia, 1990-200 : Pramono U.Tanthowi *
Oleh:
R.A. Syukuri Nikmah, M.Si.
Kebangkitan politik kaum santri karya Pramono U. Tanthowi ini adalah sebutan bagi kegiatan politik yang dilakukan aktivis politik dari komunitas yang selama ini dikenal lebih taat terhadap berbagai aturan dalam sistem. Bicara soal santri yang dikorelasikan dengan urusan politik, mungkin ada sebagian kalangan yang akan bertanya dan berprasangka, kenapa pemikiran santri yang harus digali, dipandangdalami dan kemudian dipampangkan ke depan publik ?
Adalah wajar jika sebagian kalangan itu meragukan kredibilitas dan akuntabilitas santri dalam dunia politik. Sebab disadari atau tidak, masih melekat pola pikir lama dalam masyarakat kita bahwa sterotipe santri tidak terlepas sebagai “kaum sarungan” yang tradisional, kolot dan biasanya Cuma bisa baca kitab kuning. Selain itu masih diyakini bahwa aktivitas santri setelah keluar dari pesantrennya hanya mampu untuk berceramah tang-ting-tung-teng-teong mulai dari surau ke surau, mesjid ke mesjid, titik.
Mengenai asal-usul istilah “santri” setidaknya ada dua versi pendapat yang dapat kita jadikan acuan. Pertama, term santri berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sanskerta yang berarti “melek huruf”. Dahulu, ketika kerajaan Demak berkuasa, kaum santri adalah literary bagi orang jawa. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab. Dari sini dapat diasumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama. Pendek kata, paling tidak seorang santri adalah orang yang mampu membaca Al-Qur’an yang dengan sendirinya membawa sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Kedua, istilahnya santri berasal dari bahasa jawa, persisnya kata “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. Tentunya dengantujuan agar ia dapat belajar kepada sang kiai mengenai tentang keahlian tertentu. Sebenarnya, kebiasaan nyantrik (menjadi cantrik) masih dapat kita jumpai sampai saat ini, namun sudah tidak sekental pada tempo lalu. Misalnya, seseorang yang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau penabuh gamelan, ia akan mengikuti yang sudah ahlinya. Dalam hal ini sipengikut biasanya disebut dengan “dalang cantrik”, meskipun terkadang di panggil “dalang magang”.
Sekarang ini dapat dikatakan, dunia pesantren (tempat mencetak kader-kader santri) tengah mengalami ledakan intelektual. Banyak para pemikir baik dibidang keagamaan, politik dan ekonomi berasal dari dunia pesantren. Tentu perkembangan tersebut sangat menggembirakan kalangan muslim khususnya. Peranan pesantren kini mengalami diversivikasi dan diferensiasi yang positif. Diversivikasi dan diferensiasi peran pesantren ini pastinya melengkapi konstribusi pesantren yang telah berlangsung selama beberapa decade bagi kualitas kemajuan bangsa Indonesia kedepan. Perkembangan ini menurut hemat presensi perlu dijadikan bahan penelitian dan pengkajian lebih lanjut, dalam rangka evaluasi memajukan serta mengembangkan kualitas kesejahteraan dan tingkat pendidikan pesantren serta santri itu sendiri.
Kehadiran buku ini, setidaknya menjadi bukti dan telah membuktikan bahwa kaum santri memiliki andil yang cukup besar dalam perjalanan politik di Indonesia. Ambisi kaum santri terhadap pemikiran Islam terhadap Negara dan kekuasaan serta masa depan aktor-aktor politiknya menarik untuk dikaji sekaligus mengundang ironi yang mendatangkan perdebatan. Mengapa demikian ? sebab ada dua sisi yang pernah saling kontradiktif, yakni pada satu masa, kaum santri gigih berjuang merebut kemerdekaan tanpa pandang bulu. Sementara pada masa yang lain, beberapa kelompok santri tersebut bersitegang dengan kekuatn politik lain tentang bagaimana metode mengelola negeri ini. Bahkan tidak jarang diantara mereka (santri) berbeda pandangan dan saling bertentangan. Kasus Kartosuwiryo, Kahar Muzakar menjadi kaca dilema lika-liku sejarah negatif politik islam di Indonesia.
Selama dua dasawarsa pertama kekuasaan orde baru, umat islam sering ditempatkan pada posisi ideological scapegoat, dikambing hitamkan perkumpulan politik. Umat islam menjadi kelompok yangterus-menerus dicurigai, dianggap sebagai pihak yang tidak setuju dengan ideologi pancasila. Gesekan-gesekan ideologis semacam ini menambah kalkulasi kecurigaan Negara, bahkan berkembang menjadi antagonisme politik yang semakin menyudutkan umat islam. Rezim Orde Baru bukan saja telah memotong secara keseluruhan akar-akar “politik aliran”, tetapi juga merombak secara radikal paradigma “politik Islam” yang pernah secara kuat berakar kuat di masa lampau. Dalam perspektif ini drama yang digelar sosok Orde Baru secara langsung dan mendalam telah mempengaruhi aktivitas dunia Islam Indonesia. Fenomena ini terekam jelas dari pendapat Bahtiar Effendy, bahwa kecurigaan dan antagonisme rezim Orde Baru terhadap politik Islam menyebabkan politik Islam pada posisi terpinggirkan. Menurut beliau, sampai pada pertengahan 1980-an, dilihat dari segi manapun Islam telah “terkalahkan”.
***
Politik budaya golongan santri yang dikomandani Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, merupakan langkah strategis untuk membangun sintesa baru hubungan Islam dengan Negara. Hal ini sebagai bentuk respon terhadap kondisi dan tuntutan spesifik rezim Orde Baru. Munculnya pemikiran baru Islam ini merupakan panacea untuk menciptakan babak baru tentang hubungan Islam dengan negara agar lebih kondusif dengan kenyatan sosial-politik Orde Baru. Dengan kata lain, golongan santri yang dianggap modernis ini dianggap berperan mengakhiri malaise perjuangan politik ala Masyumi, salah satu partai Islam terbesar yang dibubarkan oleh Ir. Soekarno di era Orde Lama.
Pembangunan politik santri oleh Cak Nur pada dasarnya merupakan tuntutan politis dari kondisi social-kultural rezim Orde Baru. Jadi, menurut sepengetahuan peresensi, pembaruan politik Cak Nur pada periode awal lebih didasarkan pada orientasi empiris dan pragmatis. Hal ini dimaksudkan untuk menepis tuduhan yang sering dialamatkan kepada umat Islam (secara umum) sebagai golongan yang “anti pembangunan”,“anti modernis” dan “anti pancasila”. Oleh karena itu, wacana pembaruan politik Islam Cak Nur, menurut Bakhtiar Effendi mewakili tipologi sebuah gerakan pembaruan keagamaan (Theological renewel), yang secara langsung merupakan implikasi dari proses ekspansif pembangunan Orde Baru yang memang menghindar dari gerak dinamika politik dan ideologi masyarakat. Dalam konteks ini, perombakan Cak Nur terhadap paradigma politik Islam bisa dipahami sebagai suatu seni untuk melunakkan tatanan politik negara. Dengan begitu, diharapkan umat Islam secara struktural bisa berintegrasi di dalamnya.
Akhirnya, harapan tidak tinggal harapan, apa yang dicitakan oleh Cak Nur menjadi kenyataan yang harus dirasakan. Setelah rezim Orde Baru runtuh, fenomena menarik menjemput yakni munculnya partai politik baru yang didirikan oleh elit kaum santri berbasis kebangsaan.
***
Peresensi tidak berpretensi bahwa buku ini merupakan kajian pertama yang membahas tentang Islam dan politik di Indonesia. Sebelumnya sudah ada karya-karya lain yang membahas masalah tersebut. Misalnya: Abdul Munir Mulkhan, “Runtuhnya Mitos Politik Santri : Strategi Kebudayaan Dalam Islam”, Bakhtiar Effendi, “Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, M. Syafi’i Anwar, “Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia : Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru”, M. Rusli Karim, “Negara dan Peminggiran Islam Politik”, Dody S. Truna, “Islam And Politics Under The New Order Government in Indonesia 1966-1990”, dan lain sebagainya. Akan tetapi pembahasan-pembahasan tersebut memiliki sudut pandang dan fokus perhatian yang berbeda serta rentang waktu yang spesifik.
Secara umum buku Pramonu U. Tanthowi, membahas dinamika hubungan antara Islam dan negara di Indonesia pada akhir masa rezim Orde Baru. Dan secara khusus, kajian ini lebih dititikberatkan pada pembahasan mengenai kebangkitan politik Islam di Indonesia yang terlihat mencolok sejak dasawarsa 1990-an, serta kontribusinya bagi masa depan demokrasi diIndonesia. Sementara itu kata “santri “ dalam buku ini sepenuhnya merujuk pada sebuah akar budaya sekelompok pemeluk agama Islam, bukan menunjuk sekelompok peserta lembaga pendidikan tradisional atau pesantren. Dan pemilihan nama Cak Nur oleh peresensi dalam resensi ini dirasa cukup presentatif untuk mewakili para aktor-aktor politik lainnya di Indonesia. Untuk mengetahui isi buku ini secara konprehensif, peresensi menyarankan para pembaca untuk membaca bukunya langsung. Hal ini bukan tindakan promosi agar ini menjadi best seller, namun semata-mata mengetahui konstelasi perpolitikan Islam di Indonesia secara mantap. Wassalamu’alaikum.
(Kritik Rekonstruktif Terhadap Gaya Kepemimpinan Guru)
Oleh:
R.A. Syukuri Nikmah, M.Si.
Pembangunan di bidang pendidikan di Indonesia sesuai dengan Undang-undang no. 22 tahun 1999, tentang otonomi pendidikan telah memunculkan paradigma baru yaituSchool Based Management atau dalam konteks bahasa Indonesia dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut pendapat Albers mohrman dalam bukunya “School Based Management (2002)”, bahwa School Based Management merupakan sistem pendidikan popular yang diadopsi oleh berbagai Negara di dunia, sebagai upaya perbaikan kinerja lembaga pendidikan. Begitu juga di Indonesia, MBS memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk mengatur segala hal yang bersangkut paut dengan manajemen sekolah itu sendiri, seperti di bidang kurikulum.
Di terapkannya konsep MBS sebenarnya daya serius dari pemerintah (pemerhati pendidikan) untuk terus melakukan inovasi-inovasi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di wilayah Indonesia. Namun kenyataannya, sekian banyak konsep pendidikan yang telah direalisasikan hingga kini belum dapat dikatakan berhasil. Rendahnya output menjadi bukti konkrit perlu adanya neo-reformasi di bidang pendidikan. Diakui atau tidak, menurut hasil riset UNPP menyebutkan, dari 173 negara di dunia, kondisi pendidikan masyarakat Indonesia terseok pada ranking ke-107. Hal ini mengindikasikan pendidikan di wilayah kita tertinggal jauh dari Negara-negara tetangga, seperti Singapura ranking ke-2, Jepang ranking ke-8, Brunei Darussalam ranking ke-27, Malaysia ranking ke-37, Thailand ranking ke-47 dan Filipina ranking ke-77. Demikian kata Dr. Faisal Djalal, Ph.D.
Berangkat dari fenomena di atas maka stakeholder pendidikan yaitu orang tua, masyarakat, dan wakil rakyat mempertanyakan apa kesalahan kita dalam penyelenggaraan pendidikan belum juga menuai hasil yang maksimal ?. Sementara itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan selalu berusaha memecahkan kebuntuan tersebut. Namun di lapangan acapkali dihadapkan berbagai kendala yang rumit.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang sekiranya perlu kita kritisi sebagai kendala kegagalan penyelenggaraan pendidikan di wilayah kita. Pertama, pada tataran praktisnya guru seringkali menampilkan gaya autocrat. Dalam artian, guru secara maksimum memperhatikan tugas pekerjaan selesai, dan secara minimum memperhatikan hubungan terhadap peserta didik (siswa). Adanya sikap semacam itu, menimbulkan berbagai kenegatifan yang diderita oleh anak didik dan berbuntut terhadap kegagalan penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Kedua, di dalam praktek belajar-mengajar kita terlalu memanjakan “tut wuri handayani” sebagai keteladanan pendidikan yang optimal. Sehingga implikasi yang ditelurkan tidak terjadinya balance position antara siswa dan guru.
Melihat realitas pendidikan di tengah masyarakat kita semacam itu, kita perlu melakukan modifikasi dalam beberapa hal, sebagai ratasan dari problem penyelenggaraan pendidikan kita. Pertama, guru sebagai pemimpin atau pembina dalam proses belajar-mengajar di kelas hendaknya menerapkan konsep “gaya kepemimpinan beraucrat”. Pola ini lebih mengutamakan peraturan dan pengawasan terhadap situasi proses belajar-mengajar. Disinilah guru dituntut mampu menciptakan daya kreatifitas (lebih) unik dalam menyampaikan desain mata pelajarannya. Hal demikian dengan sendirinya dapat memikat dan menarik perhatian anak didik untuk ikut tercebur ke dalamproses pembelajarannya. Dan paling tidak konsep ini akan menjauhkan anak didik (siswa) dari rasa kebosanan saat menerima mata pelajaran, sekalipun semula mata pelajaran tersebut memegang image pelajaran paling membosankan. Dengan konsep ini pula diharapkan dapat merangsang daya kreatifitas anak didik yang tidak terpotensialisasikan sebelumnya.
Kedua, dalam realitas proses belajar-mengajar di kelas, kita hanya menampilkan keteladanan “tut wuri handayani” yang dianggap prospek yang paling baik dalam proses belajar-mengajar. Padahal secara kasat mata, keteladanan semacam ini justru mengaburkan hubungan anak didik dengan guru (down-top) secara kritis. Sebab peran guru terlalu memiliki porsi besar untuk direction terhadap anak didik tanpa selektifitas dari anak didik itu sendiri. Dengan demikian tidak terjadi balance position antara keduanya. Sehingga seolah guru adalah raja yang tidak dapat di ganggu gugat. Oleh karena itu, disini diperlukan keteladanan “ing madya mangun karsa”, guna memberi keleluasaan terhadap peserta didik untuk timbang pikiran dengan pendidiknya. Maka, adanya kolaborasi antara tut wuri handayani dengan ing madya mangun karsa, memberikan peluang dinamis terciptanya hubungan top-down dan down-top yang ideal. Maksud jelasnya, di sini akan timbul sikap tukar pikiran atau koreksi-mengoreksi positif antara anak didik dengan pendidiknya (guru). Sementara itu, dalam momentum apapun setidaknya peran anak didik harus ada, sehingga disegala keputusan melibatkan keputusan anak didik, sebab ide cemerlang tidak harus lahir dari pendidik dan tidak mustahil anak didik mampu memberikan solusi-solusi guna keluar dari suatu problema tertentu.
Di sisi lain, Cheng (tahun 2003) mengatakan bahwa sekolah yang efektifadalah sekolah yang mampu menjalankan fungsinya secara maksimal, baik dari fungsi ekonomi, fungsi sosial, fungsi politis, fungsi budaya maupun dari fungsi pendidikan. Dengan konsep beraucrat ini telah membuka kunci unutk mengarahkan anak didik ke dalam beraneka ragam fungsi sekolah yang efektif tersebut. **Wassalam
Pendidikan merupakan persoalan penting bagi semua negara. Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu, masyarakat dan bangsa. Ketika Jerman menang dalam perang tahun70-an, seorang warganya berkata, “Guru sekolah Jerman telah menang!” Tatkala Perancis kalah dalam Perang Dunia II, seorang warganya berseru, “Pendidikan Perancis telah mundur!” Hal serupa dialami Rusia, sewaktu ia berhasil menaklukkan ruang angkasa dengan Sputnik-nya, orang Amerika berkata heran “Apa yang telah menghancurkan sistem pendidik dan pengajaran kita?!” Kemudian mereka mengoreksi dan merevisinya untuk mempersiapkan para intelektual yang mampu menciptakan masa depan bangsanya.
Pendek kata, manakala stabilitas suatu bangsa terguncang atau kemajuannya terhambat, maka pertama-tama yang ditinjau ulang ialah sistem pendidikan. Hal yang sama pernah dilakukan oleh negara-negara Arab dengan menyelenggarakan Muktamar ke-3 Menteri Pendidikan dan Pengajaran di Kuwait pada bulan pebruari 1968, persis setelah perang 1967. Hal ini dilakukan mengingat tujuan pendidikan sinkron dengan tujuan hidup bangsa, yaitu melahirkan individu, keluarga, masyarakat yang saleh, serta menumbuhkan konsep-konsep kemanusiaan yang baik diantara umat manusia dalam mencapai suasana saling pengertian di dunia internasional. Apalagi, Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia untuk mampu memikul taklif (tugas hidup) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk maksud tersebut, manusia telah diciptakan lengkap dengan potensinya yang berupa akal dan kemampuan belajar.
Tantangan pendidikan Indonesia kita saat ini pada umumnya amat dipengaruhi oleh pandangan hidup barat yang bercorak ateistik, sekuleristik, materialistik, rasionalistik, empiris dan skeptis. Akibatnya, lulusan dunia pendidikan kita ini cenderung berubah orientasi dan pola hidupnya ke arah hedonistik dan individualistik yang gejala-gejalanya antara lain kurang menghargai nilai-nilai agama.
Kecenderungan seperti itu harus diantisipasi jika ingin menempatkan pendidikan pada porsi yang diinginkan. Mau tidak mau, pandangan filosofis di atas hendaknya sedini mungkin diganti dengan pandangan yang positif yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Maka, sudah sepatutnya problematika tersebut menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membangunnya kembali sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang benar. Prioritas pendidikan kita harus diarahkan untuk menghasilkan para lulusan yang memiliki pandangan yang luas, menyeluruh (holistic), serta mampu mengaplikasikannya sesuai dengan tingkat usia anak didik dan zaman. Wawasan luas yang dimaksud adalah suatu wawasan yang melihat pancasila sebagai pembawa misi kedamaian dan kesejahteraan dalam berbagai aspek bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian, maka para siswa yang dihasilkan adalah para siswa yang dapat berinteraksi dengan siapa pun yang membawa kepada nilai-nilai kebenaran dan kedamaian dan berupaya mewujudkan nilai-nilai pancasila tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.
***
Ada seorang antropolog yang memiliki concern yang tinggi untuk melakukan penelitian tentang Indonesia, menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius yang sebagian besar memeluk agama Islam. Memang tidak ada alasan untuk menolaknya sebagai ciri khas dan karakter yang melekat pada simbol masyarakat Indonesia. Meskipun secara sadar kita mengakui bahwa tingkat religiusitas masyarakat kita masih relatif rendah. Hal ini bisa dipahami, karena tingkat kualitas religiusitas yang rendah itu semata lahir dari suatu akulturasi yang salah dan merupakan dampak dari arus globalisasi.
Meskipun kenyataan berbicara demikian, kita berharap religiusitas itu akan tetap menjadi ciri khas dan karakter khusus masyarakat Indonesia yang paling sentral dan dominan. Untuk itu kita memerlukan suatu sistem pendidikan alternatif yang bisa mempertahankan sekaligus memberdayakan ciri khas itu. Dan itu hanya ada dalam pendidikan pesantren. Mengapa pendidikan pesantren yanga harus menjadi pilihan alternatif? Apa landasannya?
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi hal ini, diantaranya adalah : Pertama, Pondok Pesantren (selanjutnya disingkat: Ponpes) dengan panca jiwanya (keikhlasan, kebebasan, ukhuwah islamiyah, kesederhanaan dan kemandirian) adalah wujud nyata dari otonomisasi yang sudah dijabarkan oleh Ponpes semenjak ia berdiri. Jiwa keikhlasan adalah merupakan potensi yang fundamental yang sudah hamper pudar di lembaga-lembaga lainnya, bahkan telah menjunjung tinggi nilai kebendaan semata. Jiwa kebebasan yang dikembangkan Ponpes adalah kebebasan yang menjungjung tinggi etika dan akhlak. Ukhuwah islamiyah telah menjadi malakah bagi santri-santrinya sehingga suasana hidup rukun, bersaudara, dan saling menghormati perbedaan-perbedaan pendapat baik antara kyai-santri ataupun santri dengan sesamnya. Sementara kesederhanaan dan kemandirian yang ditanamkan pada para santri telah membentuk dirinya menjadi kader umat yang tangguh dan siap ditampilkan dimana pun ia berada.
Kedua, selain identik dengan makna dan simbol-simbol keislaman, Ponpes juga mengandung makna dan simbol-simbol keaslian Indonesia (indogenous). Ponpes lahir lewat akulturasi yang damai dan sejuk antara nilai-nilai dan ajaran Islam dengan budaya asli bangsa bangsa Indonesia yang berbasis animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketiga, kemampuan Ponpes untuk tetap eksisdan survive di tengah-tengah arus globalisasi dan penetrasi budaya baru yang sangat luar biasa. Hal ini disebabkan unsur esensial yang dimiliki Ponpes, salah satunya adalah proses pendidikannya berlangsung selama 24 jam penuh. Artinya, kegiatan rutinas para murid (biasa disebut; santri) setiap harinya sudah terprogram mulai dari shalat tahajjud bersama dan diikuti dengan kegiatan lainnya hingga sampai jam 23.00 Wib. Perihal ini seolah hendak mengubah idiom orang barat “time is money” menjadi “time is studying”. Selain dari pada itu, hubungan komunikasi antara kyai dengan santri (top-down) berlangsung kondusif, dan kesedian kyai yang terbuka lebar (no limit) memberikan kesempatan kepada para santri untuk berdialog langsung apabila mendapat persoalan sekalipun tidak begitu pelik.
Keempat, belakangan ini Ponpes telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa, dengan berdirinya perguruan tinggi di dalam lingkungannya. Padahal, Ponpes dan perguruan tinggi terdapat banyak perbedaan baik secara institusional, filosofis, dan kultural. Walaupun dua lembaga pendidikan ini memiliki perbedaan yang mendasar, tetapi sudah mulai melekat satu sama lain. Barang kali inilah yang disebut oleh Malik Fajar (mantan rektor Unmuh Malang), sebagai fenomena pascamodern, dimana berkembang suatu realitas dunia yang mulai memperlihatkan suatu unitas, tetapi sekaligus didalamnya ada pluralitas. Ponpes yang sudah merintis perguruan tinggi antara lain; Ponpes Darul Ulum Jombang dengan Universitas Darul Ulum (UNDAR)-nya, Ponpes Tebuireng Jombang dengan Institut Kyai Haji Hasyim Asy`ari, Ponpes Bata-bata dengan STAI Al-Khairat, Ponpes Miftahul Ulum Bettet dengan Universitas Islam Madura (UIM), Ponpes Al-Amien Prenduan dengan Institut Dirosah Islamiyah Al-Amien (IDIA), Ponpes An-Nuqayah Guluk-guluk dengan STIKA, dan lain sebagainya. Langkah sintesa konvergensi ini kemudian diikuti oleh Ponpes kecil lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan dari alumnus perguruan tinggi pesantren ini lahir ulama, cendekiawan, wiraswastawan yang memiliki intelektual dan integritas moral yang tinggi.
Setelah menghayati deskripsi singkat tentang keunggulan Ponpes di atas, maka sudah selayaknya bagi kita untuk menyepakati dan ikut membantu langkah-langkah aksi yang dapat kita perbuat untuk mewujudkan sistem pendidikan Ponpes sebagai suatu sistem pendidikan Indonesia di era globalisasi dan otonomi daerah seperti sekarang ini. Setidaknya ada beberapa cara yang bisa kita lakukan guna mewujudkan tindakan yang dimaksud. Pertama, mensosialisasikan informasi tentang sistem pendidikan Ponpes dengan melakukan pelurusan penjelasan mengenai suara-suara minus terkait pendidikan di Ponpes, sekaligus memberikan pandangan yang benar dan objektif kepada masyarakat luas. Tugas ini terutama berada di punggung pers dan kalangan pelaku media massa dan ulama. Kedua, memberikan prioritas pada pengadaan prasarana infra dan supra struktur kepada Ponpes guna melaksanakan pengoptimalan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan pelatihan-pelatihan yang telah dicanangkannya. Ini adalah salah satu tugas pemerintah daerah bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan, pelatihan dan penelitian. Ketiga, melakukan penelitian yang intensif, untuk kepentingan penyusunan konsep yang up-todate, sehingga dapat diterapkan dalam rangka mewujudkan suatu sistem pendidikan Indonesia yang ideal. Para cendekiawan muslim terutama bertanggung jawab terhadap tugas ini. Keempat, mencari dan memberi dukungan partisipasi aktif baik berupa material maupun immaterial, posisi ini ada di tangan mahasiswa dan masyarakat.
Kiranya kesempatan di dalam tulisan singkat ini diharapkan mampu menjadi awal yang baik. Walaupun banyak problema yang sedang melanda Ponpes, tetapi kita tidak perlu berkecil hati. Sebab melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, terutama yang menyangkut beragam kenakalan remaja, masyarakat semakin sadar bahwasanya peristiwa itu semua terjadi karena faktor kurangnya pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah. Ini satu keuntungan tersendiri bagi pengelola Ponpes untuk menunjukkan bahwa pendidikan Ponpes salah satu alternatif pendidikan di masa depan. Dan bagaimana pun kesemuanya itu tergantung atas kesepakatan dan “good will” dari seluruh stakeholder yang ada di dalamnya. **Wassalam.
(Dokter dan K imiawan Paling Terkemuka Sepanjang Sejarah)
Oleh:
R.A. Syukuri Nikmah
Zakariya ar-Razi, yang lebih masyhur dipanggil al-Razi adalah penulis muslim pertama yang mengarang buku-buku tentang medis. Ia juga seorang ahli kimia yang belajar dan bekerja di Baghdad di bawah bimbingan seorang murid Hunayn bin Ishak (809-977M). menurut al-Biruni, beliau lahir di Rayy pada tanggal 1 Sya`ban 251 H/ 865 M. Oleh beberapa sejarawan dikatakan bahwa masa muda ar-Razi menjalani berbagai macam profesi seperti menjadi tukang intan (versi Baihaqi), penukar uang (versi Ibnu Abi Usaybi`ah), bahkan sebagai pemain kecapi (versi Ibnu Khalikan)(1).
Nama lengkap ar-Razi adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Zakariyya ar-Razi. Di barat, dia dengan dengan nama Razhes. Ar-Razi merupakan saintis muslim pertama yang mampu mengklasifikasikan berbagai macam zat kimia ke dalam tiga bagian yakni; mineral-mineral, tumbuhan-tumbuhan dan hewan-hewan. Dalam pengklasifikasian ini memang berbeda dengan teori yang digagas oleh Jabir Ibn Hayyan, yang membagi zat kimia menjadi: tubuh, nyawa dan akal. Dalam konsep lain ar-Razi menggolongkan logam jadi lima bagian yaitu; jiwa, tubuh, batu, vittriol, borax, dan garam.
Ar-Razi dikenal sebagai ilmuwan yang terampil melakukan proses-proses kimiawi seperti distuasi, kristalisasi, sublimasi, kalsinasi, sintesa-sintesa dan berbagai macam analisis lainnya(2). Bahkan ia adalah dokter pertarma yang menerapkan ilmu kimia ke dalam bidang kedokteran, dan pernah mengobati suatu penyakit melalui reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh pasiennya. Ia juga dokter pertama yang menggagas teori bahwa kondisi jasmani itu banyak terpengaruh oleh kestabilan jiwa, dan selanjutnya menjadi landasan dasar teori ilmu kedokteran modern. Dia pulalah yang menemukan sejenis minyak “cologne” yang disarikan dari sejenis tumbuh-tumbuhan (3)
Dalam lapangan kimia, salah satu karya ar-Razi yang berjudul “Al-Kimiya” menjadi buku acuan penting dalam ilmu kimia modern. Selama hidupnya, ia telah mengarang tidak kurang dari 200 judul buah buku. Salah satu diantaranya “Al-Hawi” yang terdiri dari 20 jilid. Buku ini dipandang sebagai buku induk di bidang kuedokteran. Perlu kita ketahui, buku ini telah diterjemahkan ke dalam beragam bahasa. Di Sicilia, Dr. Feray Ibnu Salim bersama Dr. Gir Farragut bersusah payah mentranslit buku tersebut dan diberi judul yang sesuai dengan keagungan bukunya “Continens”. Sementara di Eropa lebih terkenal dengan sebutan Continent. Dari salinan buku inilah orang-orang Eropa mengetahui kehebatan intelektual dan kebesaran otoritas ar-Razi sebagai dokter muslim terkemuka.
Di sisi lain, salah satu penemuan monumental beliau adalah air raksa (Hg). Padahal di Eropa Hg ini baru dikenal pada masa Zar Rusia Alexei Mikhailovitsy yang memerintah mulai 1645-1676 M. Selain dari pada itu, ar-Razi juga yang pertama mencurahkan segenap pikirannya untuk mendiagnosa penyakit cacar, serta secara khusus mencatat dan membahas berbagai penyakit anak-anak. Ia memberikan kajian menarik tentang penyakit cacar (small pox). Ia membedakan penyakit ini menjadi; cacar air (variola), dan cacar merah (vougella) (4)
Ar-Razi pernah melakukan pengobatan khas dengan metode pemanasan syaraf. Untuk penyembuhannya ia mengajukan metode “kai”, suatu pengobatan yang mirip seperti akupuntur dengan cara menusuk noktah-nokhtah tertentu pada tubuh dengan besi-besi pipih runcing yang telah dipanaskan dengan minyak mawar atau minyak cendana. Metode ini sekarang populer dengan berbagai macam model.
Sejarah mengakui bahwa ar-Razi memang merupakan sarjana muslim pertama yang menganggap pentingnya pengobatan terhadap penyakit kepala pening. Beberapa sejarawan menduga bahwa ar-Razi yang mendiagnosa tekanan darah tinggi (hypertensi). Terkait dengan sistem pengobatan ar-Razi kala itu, Doktor Winston berkomentar, “Ar-Razi mengobati penyakit kronis dengan cara seperti yang kita terapkan dewasa ini, dan ia juga telah melakukan penjahitan pada luka-luka yang terbuka”(5)**Wassalam