Nama lengkapnya adalah Abu Ja`far Muhammad bin Muhammad bin al-Husayn al-Khurasani al-Khazin. Beliau seorang ahli di bidang fisika dan matematika. Ia merupakan anak didik Abu al-Fadh Ibnu al-Amid, seorang menteri dari Rukn ad-Dawl yang berkuasa pada masa pemerintahan Dinasti Buwayhi-Iran.
Salah satu objek penelitian al-Khazin adalah gumpalan udara. Ia berpendapat bahwa udara mempunyai kekuatan yang dapat mendorong serupa aliran air. Ketika berada di bumi, massasuatu benda yang melayang di udara akan berkurang. Kesimpulannya, massa benda sangat tergantung pada suhu udara. Itulah hasil analisis al-Khazin yang kemudian mengilhami pembuatan barometer.
Setelah Newton menemukan teori gravitasi bumi, pemikiran suhu udara yang dikemukakan al-Khazin memiliki peran yang sangat berarti. Teori kepadatan suhu udara ternyata sesuai dengan teori gravitasi bumi. Teori ini erat kaitannya dengan gumpalan-gumpalan yang ada pada setiap lapisan udara.
Al-Khazin juga melakukan berbagai penelitian tentang benda-benda terapung dan massa benda, baik padat, cair maupun yang bervariasi. Penemuan beliau lainnya adalah alat pengukur berat benda di udara dan air. Konon, al-Khazin membuat lima model alat semacam ini. Salah satunya berbentuk neraca yang dilengkapi alat barometer untuk mengukur tingkat kepadatan. Ketika kepadatan udara dihubungkan dengan suhu panas, maka pengukuran yang dilakukan juga terkait dengan suhu panas. Pemikiran ini kemudian mengilhami Galileo untuk membuat termometer.
Atas jasa-jasanya, al-Khazin dianggap sebagai penemu tekanan dan ukuran suhu panas, dan kemudian dikembangkan oleh Torriceli dan Galileo. Beliau juga melakukan penelitian tentang gravitasi. Ia menguraikan banyak hal tentang gravitasi dalam bukunya yang berjudul “Mizanul Hikmah”. Selain membahas gravitasi, buku tersebut juga mengupas tentang hidrostatika.
Al-Khazin dianggap sebagai ilmuwan yang telah memberikan kontribusi besar bagi ilmu pengetahuan baik di barat maupun di timur. Selain menemukan alat ukur udara, beliau mampu memecahkan soal yang diajukan Archimedes dalam bukunya yang berjudul The Sphere and The Cylinder. Hal ini dibuktikan dengan menemukan sebuah rumus untuk mengetahui permukaan sebuah segitiga sebagai fungsi sisi-sisinya. Ia menggunakan bagian-bagian kerucut, dan ia pun berhasil memecahkan bentuk persamaan x3 + a2b = cx2 atau persamaan mahani. *Wassalam
Sebelum diciptakan manusia melakukan perjanjian dengan Tuhannya (baca:Allah),untuk menyakini fitrah yang diyakininya. Adapun yang dibawa manusia sejak lahir hanyalah fitrah biasa. Yaitu ciptaan dasar yang menunjukkan keterpautan langsung terhadap sang Maha Pencipta yang selanjutnya merupakan modal dasar baginya untuk melangsungkan tugas “kekakhalifahan”di dunia.
Modal dasar itu tiada lain pendengaran, penglihatan dan akal budi. Kemampun basic ini tidak bias berkembang dengan sendirinya, melainkan harus aktualisasikan dengan belajar dan berinteraksi. Orang tua dan lingkungan menjadi faktor penentu tidak baik buruk putra-putrinya menentukan sikap hidup di alam fana ini.
Karena tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan hidup di dunia ini begitu besar, maka dibandingkan dengan hewan, manusia membutuhkan waktu yang lebih memadai (lama). Hal ini untuk belajar menyesuaikan diri dan lingkungannya, mengatasi hambatan-hambatan yang ada didalamnya serta diharapkan mampu menata dunianya secara utuh. Sehingga kehidupannya lebih mapan dan menemukan titik temu antara fitrah dan realisasinya. Pengaplikasian nilai-nilai semacam ini bisa dilaksanakan melalui beberapa fase:
1. Aktualisasi Fitrah Agama Pada Balita
Aktualisasi pada balita merupakan persoalan yang sangat urgen bagi semua umat. Aktualisasi nilai fitrah ini selalu menjadi segmen utama untuk mengembangkan pendidikan manusia pada masa awal. Memang pengalaman ini sangatlah sulit untuk diterapkan pada balita karena membutuhkan waktu yang lama. Pendidikan yang diterapkan orang tua dengan ucapan Ilahi Rabbi terhadap bayi yang baru lahir, dimulai adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kirinya, dilakukan untuk memantapkan keyakinan fitrah pada sang bayi agar kelak tumbuh sebagai insan mulia dan diridhoi Tuhan. Begitu juga bagi ummat non-muslim, bayi yang baru lahir disambut dengan baik bahkan dirayakan dengan pesta meriah. Peran dan tanggung jawab orang tua sangat besar untuk mengaktualisasikan nilai fitrah pada balita. Dan setiap orang tua memiliki cara tersendiri untuk melaksanakan hal tersebut.
2. Aktualisasi Fitrah Agama Pada Anak
Aktualisasi ini dimaksudkan bagaimana pendidikan itu dilaksanakan, khususnya pendidikan agama oleh orang tua terhadap putra-putrinya supaya menjadi anak yang sholeh. Agar stigma ini tercapai, setidaknya orang tua akan melakukan penamaan akhlak dan budi pekerti yang baik.
Biasanya pada anak terdapat masa estetik yang dikenal juga dengan perkembangan rasa keindahan. Nuansa perkembangan anak yang tampak adalah terutama fungsi panca indera. Panca indera sangat peka, dan saat itulah muncul gejala kenakalan yang umum berkisar antara usia 3-5 tahun. Tidak jarang anak menentang kehendak orang tuanya, egoisme mendadak tinggi, sembrautan, cengeng dan lain sebagainya. Oleh karena itu, orang tua diharapkan bisa mengarahkan anak-anaknya kepada hal-hal yang positifseperti: mengajak mereka (si anak) beribadah bersama, mengajarkan pelajaran agama terutama pendidikan akhlak dan mengajarkan budi pekerti yang baik, sehingga anak tersebut terbiasa dengan tingkah laku sebagaimana diajarkan.
3. Aktualisasi Fitrah Agama Pada Remaja
Untuk memudahkan pembahasan, saya akan mengklasifikasikan masa remaja menjadi beberapa spektrum, yaitu : a). Masa remaja awal ;b). Masa remaja madya ; c) Masa remaja akhir
a. Masa Remaja Awal
Masa ini ditandai oleh sifat-sifat negatif yang biasa timbul pada umumnya. Kaidah negatif yang sering timbul semisal rasa tidak senang, malas, kurang suka gerak, lekas lelah, kebutuhan untuk tidur lebih besar porsinya dan lain sebagainya. Gejala ini kerapkali menuai pertanyaan para ahli, sehingga mereka menyebutnya sebagai gejala yang mempunyai pangkal biologis. Keadaan ini membawa perubahan-perubahan yang cepat dalam diri si remaja tersebut. Apabila orang tua tidak mampu membimbing dan mengarahkannya pada perilaku baik, maka sikap-sikap buruk akan senantiasa melingkupi setiap tingkah laku sang remaja yang bersangkutan.
b. Masa Remaja Madya
Untuk pertama kalinya remaja sadar akan kesepian yang tidak pernah dialami pada masa-masa sebelumnya. Kesepian dalam penderitaan yang nampaknya tidak ada orang yang mengerti dan memahaminya dan juga menerangkannya. Reaksi pertama terhadap gangguan ketenangan dan keamanan batin itu ialah proses terhadap sekitarnya yang dirasa sekonyong-konyongnya menelantarkan dan memusuhinya.
Langkah selanjutnya adalah kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya. Teman yang dapat memaknai suka dan dukanya. Disinilah mulai tumbuh dalam diri remaja itu dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang dapat dipandang bernilai, pantang dijunjung tinggi dan dipuja. Pada era ini remaja biasanya mengalami goncangan batin.
Proses terbentuknya pendirian hidup, pandangan hidup dan cita-cita itu dapat dipandang sebagai penemuan nilai-nilai hidup di dalam eksplorasi keremajaannya. Secara ringkas, proses ini dapat dideskripsikan melalui tiga langkah berikut : (1) Remaja merindukan sesuatu yang dianggap bernilai, pantas dipuja dari keadaan kehidupan batin. Demikian itulah maka terlahir sajak-sajak alam, (2) Rasa kebangsaan tumbuh dengan subur, (3) Remaja tiba-tiba mulai menentukan pendirian hidupnya ke depan.
Dengan gejala-gejala yang tumbuh seperti di atas, tanggung jawab orang tua adalah mengarahkan pada pendidikan agama dan segala sesuatuyang bersifat agamis. Sehingga mereka mengerti tentang kehidupan yang baik dan taat terhadap peraturan yang telah disepakati dan berlaku baik ditingkat keluarga, masyarakat maupun negara.
c. Masa Remaja Akhir
Setelah remaja menentukan sikap kemandiriannya, berarti tercapailah masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan masa keremajaanya. Yaitu menentukan pendirian hidup. Maka kemudian termasuklah aktualisasi nilai fitrah terhadap orang dewasa.
Dari eksplikasi di atas, dapat dikonklusikan bahwa nilai-nilai fitrah agama seyogjanya dilakukan secara bertahap menurut kadar usia (umur) manusia itu tersendiri. Oleh karena itu, pengaplikasian nilai fitrah agama dalam realitas kehidupan memerlukan durasi waktu yang relatif lama. Karena fitrah itu sendiri membutuhkan bimbingan yang efektif dan efisien. Amien
Islam dan Demokratis di Indonesia, 1990-200 : Pramono U.Tanthowi *
Oleh:
R.A. Syukuri Nikmah, M.Si.
Kebangkitan politik kaum santri karya Pramono U. Tanthowi ini adalah sebutan bagi kegiatan politik yang dilakukan aktivis politik dari komunitas yang selama ini dikenal lebih taat terhadap berbagai aturan dalam sistem. Bicara soal santri yang dikorelasikan dengan urusan politik, mungkin ada sebagian kalangan yang akan bertanya dan berprasangka, kenapa pemikiran santri yang harus digali, dipandangdalami dan kemudian dipampangkan ke depan publik ?
Adalah wajar jika sebagian kalangan itu meragukan kredibilitas dan akuntabilitas santri dalam dunia politik. Sebab disadari atau tidak, masih melekat pola pikir lama dalam masyarakat kita bahwa sterotipe santri tidak terlepas sebagai “kaum sarungan” yang tradisional, kolot dan biasanya Cuma bisa baca kitab kuning. Selain itu masih diyakini bahwa aktivitas santri setelah keluar dari pesantrennya hanya mampu untuk berceramah tang-ting-tung-teng-teong mulai dari surau ke surau, mesjid ke mesjid, titik.
Mengenai asal-usul istilah “santri” setidaknya ada dua versi pendapat yang dapat kita jadikan acuan. Pertama, term santri berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sanskerta yang berarti “melek huruf”. Dahulu, ketika kerajaan Demak berkuasa, kaum santri adalah literary bagi orang jawa. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab. Dari sini dapat diasumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama. Pendek kata, paling tidak seorang santri adalah orang yang mampu membaca Al-Qur’an yang dengan sendirinya membawa sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Kedua, istilahnya santri berasal dari bahasa jawa, persisnya kata “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. Tentunya dengantujuan agar ia dapat belajar kepada sang kiai mengenai tentang keahlian tertentu. Sebenarnya, kebiasaan nyantrik (menjadi cantrik) masih dapat kita jumpai sampai saat ini, namun sudah tidak sekental pada tempo lalu. Misalnya, seseorang yang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau penabuh gamelan, ia akan mengikuti yang sudah ahlinya. Dalam hal ini sipengikut biasanya disebut dengan “dalang cantrik”, meskipun terkadang di panggil “dalang magang”.
Sekarang ini dapat dikatakan, dunia pesantren (tempat mencetak kader-kader santri) tengah mengalami ledakan intelektual. Banyak para pemikir baik dibidang keagamaan, politik dan ekonomi berasal dari dunia pesantren. Tentu perkembangan tersebut sangat menggembirakan kalangan muslim khususnya. Peranan pesantren kini mengalami diversivikasi dan diferensiasi yang positif. Diversivikasi dan diferensiasi peran pesantren ini pastinya melengkapi konstribusi pesantren yang telah berlangsung selama beberapa decade bagi kualitas kemajuan bangsa Indonesia kedepan. Perkembangan ini menurut hemat presensi perlu dijadikan bahan penelitian dan pengkajian lebih lanjut, dalam rangka evaluasi memajukan serta mengembangkan kualitas kesejahteraan dan tingkat pendidikan pesantren serta santri itu sendiri.
Kehadiran buku ini, setidaknya menjadi bukti dan telah membuktikan bahwa kaum santri memiliki andil yang cukup besar dalam perjalanan politik di Indonesia. Ambisi kaum santri terhadap pemikiran Islam terhadap Negara dan kekuasaan serta masa depan aktor-aktor politiknya menarik untuk dikaji sekaligus mengundang ironi yang mendatangkan perdebatan. Mengapa demikian ? sebab ada dua sisi yang pernah saling kontradiktif, yakni pada satu masa, kaum santri gigih berjuang merebut kemerdekaan tanpa pandang bulu. Sementara pada masa yang lain, beberapa kelompok santri tersebut bersitegang dengan kekuatn politik lain tentang bagaimana metode mengelola negeri ini. Bahkan tidak jarang diantara mereka (santri) berbeda pandangan dan saling bertentangan. Kasus Kartosuwiryo, Kahar Muzakar menjadi kaca dilema lika-liku sejarah negatif politik islam di Indonesia.
Selama dua dasawarsa pertama kekuasaan orde baru, umat islam sering ditempatkan pada posisi ideological scapegoat, dikambing hitamkan perkumpulan politik. Umat islam menjadi kelompok yangterus-menerus dicurigai, dianggap sebagai pihak yang tidak setuju dengan ideologi pancasila. Gesekan-gesekan ideologis semacam ini menambah kalkulasi kecurigaan Negara, bahkan berkembang menjadi antagonisme politik yang semakin menyudutkan umat islam. Rezim Orde Baru bukan saja telah memotong secara keseluruhan akar-akar “politik aliran”, tetapi juga merombak secara radikal paradigma “politik Islam” yang pernah secara kuat berakar kuat di masa lampau. Dalam perspektif ini drama yang digelar sosok Orde Baru secara langsung dan mendalam telah mempengaruhi aktivitas dunia Islam Indonesia. Fenomena ini terekam jelas dari pendapat Bahtiar Effendy, bahwa kecurigaan dan antagonisme rezim Orde Baru terhadap politik Islam menyebabkan politik Islam pada posisi terpinggirkan. Menurut beliau, sampai pada pertengahan 1980-an, dilihat dari segi manapun Islam telah “terkalahkan”.
***
Politik budaya golongan santri yang dikomandani Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, merupakan langkah strategis untuk membangun sintesa baru hubungan Islam dengan Negara. Hal ini sebagai bentuk respon terhadap kondisi dan tuntutan spesifik rezim Orde Baru. Munculnya pemikiran baru Islam ini merupakan panacea untuk menciptakan babak baru tentang hubungan Islam dengan negara agar lebih kondusif dengan kenyatan sosial-politik Orde Baru. Dengan kata lain, golongan santri yang dianggap modernis ini dianggap berperan mengakhiri malaise perjuangan politik ala Masyumi, salah satu partai Islam terbesar yang dibubarkan oleh Ir. Soekarno di era Orde Lama.
Pembangunan politik santri oleh Cak Nur pada dasarnya merupakan tuntutan politis dari kondisi social-kultural rezim Orde Baru. Jadi, menurut sepengetahuan peresensi, pembaruan politik Cak Nur pada periode awal lebih didasarkan pada orientasi empiris dan pragmatis. Hal ini dimaksudkan untuk menepis tuduhan yang sering dialamatkan kepada umat Islam (secara umum) sebagai golongan yang “anti pembangunan”,“anti modernis” dan “anti pancasila”. Oleh karena itu, wacana pembaruan politik Islam Cak Nur, menurut Bakhtiar Effendi mewakili tipologi sebuah gerakan pembaruan keagamaan (Theological renewel), yang secara langsung merupakan implikasi dari proses ekspansif pembangunan Orde Baru yang memang menghindar dari gerak dinamika politik dan ideologi masyarakat. Dalam konteks ini, perombakan Cak Nur terhadap paradigma politik Islam bisa dipahami sebagai suatu seni untuk melunakkan tatanan politik negara. Dengan begitu, diharapkan umat Islam secara struktural bisa berintegrasi di dalamnya.
Akhirnya, harapan tidak tinggal harapan, apa yang dicitakan oleh Cak Nur menjadi kenyataan yang harus dirasakan. Setelah rezim Orde Baru runtuh, fenomena menarik menjemput yakni munculnya partai politik baru yang didirikan oleh elit kaum santri berbasis kebangsaan.
***
Peresensi tidak berpretensi bahwa buku ini merupakan kajian pertama yang membahas tentang Islam dan politik di Indonesia. Sebelumnya sudah ada karya-karya lain yang membahas masalah tersebut. Misalnya: Abdul Munir Mulkhan, “Runtuhnya Mitos Politik Santri : Strategi Kebudayaan Dalam Islam”, Bakhtiar Effendi, “Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, M. Syafi’i Anwar, “Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia : Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru”, M. Rusli Karim, “Negara dan Peminggiran Islam Politik”, Dody S. Truna, “Islam And Politics Under The New Order Government in Indonesia 1966-1990”, dan lain sebagainya. Akan tetapi pembahasan-pembahasan tersebut memiliki sudut pandang dan fokus perhatian yang berbeda serta rentang waktu yang spesifik.
Secara umum buku Pramonu U. Tanthowi, membahas dinamika hubungan antara Islam dan negara di Indonesia pada akhir masa rezim Orde Baru. Dan secara khusus, kajian ini lebih dititikberatkan pada pembahasan mengenai kebangkitan politik Islam di Indonesia yang terlihat mencolok sejak dasawarsa 1990-an, serta kontribusinya bagi masa depan demokrasi diIndonesia. Sementara itu kata “santri “ dalam buku ini sepenuhnya merujuk pada sebuah akar budaya sekelompok pemeluk agama Islam, bukan menunjuk sekelompok peserta lembaga pendidikan tradisional atau pesantren. Dan pemilihan nama Cak Nur oleh peresensi dalam resensi ini dirasa cukup presentatif untuk mewakili para aktor-aktor politik lainnya di Indonesia. Untuk mengetahui isi buku ini secara konprehensif, peresensi menyarankan para pembaca untuk membaca bukunya langsung. Hal ini bukan tindakan promosi agar ini menjadi best seller, namun semata-mata mengetahui konstelasi perpolitikan Islam di Indonesia secara mantap. Wassalamu’alaikum.