Minggu, 10 Januari 2010

RESENSI


SYAHWAT POLITIK KAUM SANTRI

* Resensi Buku

“Kebangkitan Politik Kaum Santri”

Islam dan Demokratis di Indonesia, 1990-200 : Pramono U.Tanthowi *


Oleh:

R.A. Syukuri Nikmah, M.Si.



Kebangkitan politik kaum santri karya Pramono U. Tanthowi ini adalah sebutan bagi kegiatan politik yang dilakukan aktivis politik dari komunitas yang selama ini dikenal lebih taat terhadap berbagai aturan dalam sistem. Bicara soal santri yang dikorelasikan dengan urusan politik, mungkin ada sebagian kalangan yang akan bertanya dan berprasangka, kenapa pemikiran santri yang harus digali, dipandangdalami dan kemudian dipampangkan ke depan publik ?

Adalah wajar jika sebagian kalangan itu meragukan kredibilitas dan akuntabilitas santri dalam dunia politik. Sebab disadari atau tidak, masih melekat pola pikir lama dalam masyarakat kita bahwa sterotipe santri tidak terlepas sebagai “kaum sarungan” yang tradisional, kolot dan biasanya Cuma bisa baca kitab kuning. Selain itu masih diyakini bahwa aktivitas santri setelah keluar dari pesantrennya hanya mampu untuk berceramah tang-ting-tung-teng-teong mulai dari surau ke surau, mesjid ke mesjid, titik.

Mengenai asal-usul istilah “santri” setidaknya ada dua versi pendapat yang dapat kita jadikan acuan. Pertama, term santri berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sanskerta yang berarti “melek huruf”. Dahulu, ketika kerajaan Demak berkuasa, kaum santri adalah literary bagi orang jawa. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab. Dari sini dapat diasumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama. Pendek kata, paling tidak seorang santri adalah orang yang mampu membaca Al-Qur’an yang dengan sendirinya membawa sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Kedua, istilahnya santri berasal dari bahasa jawa, persisnya kata “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. Tentunya dengan tujuan agar ia dapat belajar kepada sang kiai mengenai tentang keahlian tertentu. Sebenarnya, kebiasaan nyantrik (menjadi cantrik) masih dapat kita jumpai sampai saat ini, namun sudah tidak sekental pada tempo lalu. Misalnya, seseorang yang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau penabuh gamelan, ia akan mengikuti yang sudah ahlinya. Dalam hal ini sipengikut biasanya disebut dengan “dalang cantrik”, meskipun terkadang di panggil “dalang magang”.

Sekarang ini dapat dikatakan, dunia pesantren (tempat mencetak kader-kader santri) tengah mengalami ledakan intelektual. Banyak para pemikir baik dibidang keagamaan, politik dan ekonomi berasal dari dunia pesantren. Tentu perkembangan tersebut sangat menggembirakan kalangan muslim khususnya. Peranan pesantren kini mengalami diversivikasi dan diferensiasi yang positif. Diversivikasi dan diferensiasi peran pesantren ini pastinya melengkapi konstribusi pesantren yang telah berlangsung selama beberapa decade bagi kualitas kemajuan bangsa Indonesia kedepan. Perkembangan ini menurut hemat presensi perlu dijadikan bahan penelitian dan pengkajian lebih lanjut, dalam rangka evaluasi memajukan serta mengembangkan kualitas kesejahteraan dan tingkat pendidikan pesantren serta santri itu sendiri.

Kehadiran buku ini, setidaknya menjadi bukti dan telah membuktikan bahwa kaum santri memiliki andil yang cukup besar dalam perjalanan politik di Indonesia. Ambisi kaum santri terhadap pemikiran Islam terhadap Negara dan kekuasaan serta masa depan aktor-aktor politiknya menarik untuk dikaji sekaligus mengundang ironi yang mendatangkan perdebatan. Mengapa demikian ? sebab ada dua sisi yang pernah saling kontradiktif, yakni pada satu masa, kaum santri gigih berjuang merebut kemerdekaan tanpa pandang bulu. Sementara pada masa yang lain, beberapa kelompok santri tersebut bersitegang dengan kekuatn politik lain tentang bagaimana metode mengelola negeri ini. Bahkan tidak jarang diantara mereka (santri) berbeda pandangan dan saling bertentangan. Kasus Kartosuwiryo, Kahar Muzakar menjadi kaca dilema lika-liku sejarah negatif politik islam di Indonesia.

Selama dua dasawarsa pertama kekuasaan orde baru, umat islam sering ditempatkan pada posisi ideological scapegoat, dikambing hitamkan perkumpulan politik. Umat islam menjadi kelompok yang terus-menerus dicurigai, dianggap sebagai pihak yang tidak setuju dengan ideologi pancasila. Gesekan-gesekan ideologis semacam ini menambah kalkulasi kecurigaan Negara, bahkan berkembang menjadi antagonisme politik yang semakin menyudutkan umat islam. Rezim Orde Baru bukan saja telah memotong secara keseluruhan akar-akar “politik aliran”, tetapi juga merombak secara radikal paradigma “politik Islam” yang pernah secara kuat berakar kuat di masa lampau. Dalam perspektif ini drama yang digelar sosok Orde Baru secara langsung dan mendalam telah mempengaruhi aktivitas dunia Islam Indonesia. Fenomena ini terekam jelas dari pendapat Bahtiar Effendy, bahwa kecurigaan dan antagonisme rezim Orde Baru terhadap politik Islam menyebabkan politik Islam pada posisi terpinggirkan. Menurut beliau, sampai pada pertengahan 1980-an, dilihat dari segi manapun Islam telah “terkalahkan”.

***

Politik budaya golongan santri yang dikomandani Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, merupakan langkah strategis untuk membangun sintesa baru hubungan Islam dengan Negara. Hal ini sebagai bentuk respon terhadap kondisi dan tuntutan spesifik rezim Orde Baru. Munculnya pemikiran baru Islam ini merupakan panacea untuk menciptakan babak baru tentang hubungan Islam dengan negara agar lebih kondusif dengan kenyatan sosial-politik Orde Baru. Dengan kata lain, golongan santri yang dianggap modernis ini dianggap berperan mengakhiri malaise perjuangan politik ala Masyumi, salah satu partai Islam terbesar yang dibubarkan oleh Ir. Soekarno di era Orde Lama.

Pembangunan politik santri oleh Cak Nur pada dasarnya merupakan tuntutan politis dari kondisi social-kultural rezim Orde Baru. Jadi, menurut sepengetahuan peresensi, pembaruan politik Cak Nur pada periode awal lebih didasarkan pada orientasi empiris dan pragmatis. Hal ini dimaksudkan untuk menepis tuduhan yang sering dialamatkan kepada umat Islam (secara umum) sebagai golongan yang “anti pembangunan”, “anti modernis” dan “anti pancasila”. Oleh karena itu, wacana pembaruan politik Islam Cak Nur, menurut Bakhtiar Effendi mewakili tipologi sebuah gerakan pembaruan keagamaan (Theological renewel), yang secara langsung merupakan implikasi dari proses ekspansif pembangunan Orde Baru yang memang menghindar dari gerak dinamika politik dan ideologi masyarakat. Dalam konteks ini, perombakan Cak Nur terhadap paradigma politik Islam bisa dipahami sebagai suatu seni untuk melunakkan tatanan politik negara. Dengan begitu, diharapkan umat Islam secara struktural bisa berintegrasi di dalamnya.

Akhirnya, harapan tidak tinggal harapan, apa yang dicitakan oleh Cak Nur menjadi kenyataan yang harus dirasakan. Setelah rezim Orde Baru runtuh, fenomena menarik menjemput yakni munculnya partai politik baru yang didirikan oleh elit kaum santri berbasis kebangsaan.

***

Peresensi tidak berpretensi bahwa buku ini merupakan kajian pertama yang membahas tentang Islam dan politik di Indonesia. Sebelumnya sudah ada karya-karya lain yang membahas masalah tersebut. Misalnya: Abdul Munir Mulkhan, “Runtuhnya Mitos Politik Santri : Strategi Kebudayaan Dalam Islam”, Bakhtiar Effendi, “Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, M. Syafi’i Anwar, “Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia : Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru”, M. Rusli Karim, “Negara dan Peminggiran Islam Politik”, Dody S. Truna, “Islam And Politics Under The New Order Government in Indonesia 1966-1990”, dan lain sebagainya. Akan tetapi pembahasan-pembahasan tersebut memiliki sudut pandang dan fokus perhatian yang berbeda serta rentang waktu yang spesifik.

Secara umum buku Pramonu U. Tanthowi, membahas dinamika hubungan antara Islam dan negara di Indonesia pada akhir masa rezim Orde Baru. Dan secara khusus, kajian ini lebih dititikberatkan pada pembahasan mengenai kebangkitan politik Islam di Indonesia yang terlihat mencolok sejak dasawarsa 1990-an, serta kontribusinya bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Sementara itu kata “santri “ dalam buku ini sepenuhnya merujuk pada sebuah akar budaya sekelompok pemeluk agama Islam, bukan menunjuk sekelompok peserta lembaga pendidikan tradisional atau pesantren. Dan pemilihan nama Cak Nur oleh peresensi dalam resensi ini dirasa cukup presentatif untuk mewakili para aktor-aktor politik lainnya di Indonesia. Untuk mengetahui isi buku ini secara konprehensif, peresensi menyarankan para pembaca untuk membaca bukunya langsung. Hal ini bukan tindakan promosi agar ini menjadi best seller, namun semata-mata mengetahui konstelasi perpolitikan Islam di Indonesia secara mantap. Wassalamu’alaikum.