BERAUCRAT MODEL PENDIDIKAN
(Kritik Rekonstruktif Terhadap
Oleh:
R.A. Syukuri Nikmah, M.Si.
Pembangunan di bidang pendidikan di
Di terapkannya konsep MBS sebenarnya daya serius dari pemerintah (pemerhati pendidikan) untuk terus melakukan inovasi-inovasi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di wilayah
Berangkat dari fenomena di atas maka stakeholder pendidikan yaitu
Dalam hal ini ada beberapa hal yang sekiranya perlu kita kritisi sebagai kendala kegagalan penyelenggaraan pendidikan di wilayah kita. Pertama, pada tataran praktisnya guru seringkali menampilkan gaya autocrat. Dalam artian, guru secara maksimum memperhatikan tugas pekerjaan selesai, dan secara minimum memperhatikan hubungan terhadap peserta didik (siswa). Adanya sikap semacam itu, menimbulkan berbagai kenegatifan yang diderita oleh anak didik dan berbuntut terhadap kegagalan penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Kedua, di dalam praktek belajar-mengajar kita terlalu memanjakan “tut wuri handayani” sebagai keteladanan pendidikan yang optimal. Sehingga implikasi yang ditelurkan tidak terjadinya balance position antara siswa dan guru.
Melihat realitas pendidikan di tengah masyarakat kita semacam itu, kita perlu melakukan modifikasi dalam beberapa hal, sebagai ratasan dari problem penyelenggaraan pendidikan kita. Pertama, guru sebagai pemimpin atau pembina dalam proses belajar-mengajar di kelas hendaknya menerapkan konsep “gaya kepemimpinan beraucrat”. Pola ini lebih mengutamakan peraturan dan pengawasan terhadap situasi proses belajar-mengajar. Disinilah guru dituntut mampu menciptakan daya kreatifitas (lebih) unik dalam menyampaikan desain mata pelajarannya. Hal demikian dengan sendirinya dapat memikat dan menarik perhatian anak didik untuk ikut tercebur ke dalam proses pembelajarannya. Dan paling tidak konsep ini akan menjauhkan anak didik (siswa) dari rasa kebosanan saat menerima mata pelajaran, sekalipun semula mata pelajaran tersebut memegang image pelajaran paling membosankan. Dengan konsep ini pula diharapkan dapat merangsang daya kreatifitas anak didik yang tidak terpotensialisasikan sebelumnya.
Kedua, dalam realitas proses belajar-mengajar di kelas, kita hanya menampilkan keteladanan “tut wuri handayani” yang dianggap prospek yang paling baik dalam proses belajar-mengajar. Padahal secara kasat mata, keteladanan semacam ini justru mengaburkan hubungan anak didik dengan guru (down-top) secara kritis. Sebab peran guru terlalu memiliki porsi besar untuk direction terhadap anak didik tanpa selektifitas dari anak didik itu sendiri. Dengan demikian tidak terjadi balance position antara keduanya. Sehingga seolah guru adalah raja yang tidak dapat di ganggu gugat. Oleh karena itu, disini diperlukan keteladanan “ing madya mangun karsa”, guna memberi keleluasaan terhadap peserta didik untuk timbang pikiran dengan pendidiknya. Maka, adanya kolaborasi antara tut wuri handayani dengan ing madya mangun karsa, memberikan peluang dinamis terciptanya hubungan top-down dan down-top yang ideal. Maksud jelasnya, di sini akan timbul sikap tukar pikiran atau koreksi-mengoreksi positif antara anak didik dengan pendidiknya (guru). Sementara itu, dalam momentum apapun setidaknya peran anak didik harus ada, sehingga disegala keputusan melibatkan keputusan anak didik, sebab ide cemerlang tidak harus lahir dari pendidik dan tidak mustahil anak didik mampu memberikan solusi-solusi guna keluar dari suatu problema tertentu.
Di sisi lain, Cheng (tahun 2003) mengatakan bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang mampu menjalankan fungsinya secara maksimal, baik dari fungsi ekonomi, fungsi sosial, fungsi politis, fungsi budaya maupun dari fungsi pendidikan. Dengan konsep beraucrat ini telah membuka kunci unutk mengarahkan anak didik ke dalam beraneka ragam fungsi sekolah yang efektif tersebut. **Wassalam