(Kritik Rekonstruktif Terhadap Gaya Kepemimpinan Guru)
Oleh:
R.A. Syukuri Nikmah, M.Si.
Pembangunan di bidang pendidikan di Indonesia sesuai dengan Undang-undang no. 22 tahun 1999, tentang otonomi pendidikan telah memunculkan paradigma baru yaituSchool Based Management atau dalam konteks bahasa Indonesia dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut pendapat Albers mohrman dalam bukunya “School Based Management (2002)”, bahwa School Based Management merupakan sistem pendidikan popular yang diadopsi oleh berbagai Negara di dunia, sebagai upaya perbaikan kinerja lembaga pendidikan. Begitu juga di Indonesia, MBS memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk mengatur segala hal yang bersangkut paut dengan manajemen sekolah itu sendiri, seperti di bidang kurikulum.
Di terapkannya konsep MBS sebenarnya daya serius dari pemerintah (pemerhati pendidikan) untuk terus melakukan inovasi-inovasi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di wilayah Indonesia. Namun kenyataannya, sekian banyak konsep pendidikan yang telah direalisasikan hingga kini belum dapat dikatakan berhasil. Rendahnya output menjadi bukti konkrit perlu adanya neo-reformasi di bidang pendidikan. Diakui atau tidak, menurut hasil riset UNPP menyebutkan, dari 173 negara di dunia, kondisi pendidikan masyarakat Indonesia terseok pada ranking ke-107. Hal ini mengindikasikan pendidikan di wilayah kita tertinggal jauh dari Negara-negara tetangga, seperti Singapura ranking ke-2, Jepang ranking ke-8, Brunei Darussalam ranking ke-27, Malaysia ranking ke-37, Thailand ranking ke-47 dan Filipina ranking ke-77. Demikian kata Dr. Faisal Djalal, Ph.D.
Berangkat dari fenomena di atas maka stakeholder pendidikan yaitu orang tua, masyarakat, dan wakil rakyat mempertanyakan apa kesalahan kita dalam penyelenggaraan pendidikan belum juga menuai hasil yang maksimal ?. Sementara itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan selalu berusaha memecahkan kebuntuan tersebut. Namun di lapangan acapkali dihadapkan berbagai kendala yang rumit.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang sekiranya perlu kita kritisi sebagai kendala kegagalan penyelenggaraan pendidikan di wilayah kita. Pertama, pada tataran praktisnya guru seringkali menampilkan gaya autocrat. Dalam artian, guru secara maksimum memperhatikan tugas pekerjaan selesai, dan secara minimum memperhatikan hubungan terhadap peserta didik (siswa). Adanya sikap semacam itu, menimbulkan berbagai kenegatifan yang diderita oleh anak didik dan berbuntut terhadap kegagalan penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Kedua, di dalam praktek belajar-mengajar kita terlalu memanjakan “tut wuri handayani” sebagai keteladanan pendidikan yang optimal. Sehingga implikasi yang ditelurkan tidak terjadinya balance position antara siswa dan guru.
Melihat realitas pendidikan di tengah masyarakat kita semacam itu, kita perlu melakukan modifikasi dalam beberapa hal, sebagai ratasan dari problem penyelenggaraan pendidikan kita. Pertama, guru sebagai pemimpin atau pembina dalam proses belajar-mengajar di kelas hendaknya menerapkan konsep “gaya kepemimpinan beraucrat”. Pola ini lebih mengutamakan peraturan dan pengawasan terhadap situasi proses belajar-mengajar. Disinilah guru dituntut mampu menciptakan daya kreatifitas (lebih) unik dalam menyampaikan desain mata pelajarannya. Hal demikian dengan sendirinya dapat memikat dan menarik perhatian anak didik untuk ikut tercebur ke dalamproses pembelajarannya. Dan paling tidak konsep ini akan menjauhkan anak didik (siswa) dari rasa kebosanan saat menerima mata pelajaran, sekalipun semula mata pelajaran tersebut memegang image pelajaran paling membosankan. Dengan konsep ini pula diharapkan dapat merangsang daya kreatifitas anak didik yang tidak terpotensialisasikan sebelumnya.
Kedua, dalam realitas proses belajar-mengajar di kelas, kita hanya menampilkan keteladanan “tut wuri handayani” yang dianggap prospek yang paling baik dalam proses belajar-mengajar. Padahal secara kasat mata, keteladanan semacam ini justru mengaburkan hubungan anak didik dengan guru (down-top) secara kritis. Sebab peran guru terlalu memiliki porsi besar untuk direction terhadap anak didik tanpa selektifitas dari anak didik itu sendiri. Dengan demikian tidak terjadi balance position antara keduanya. Sehingga seolah guru adalah raja yang tidak dapat di ganggu gugat. Oleh karena itu, disini diperlukan keteladanan “ing madya mangun karsa”, guna memberi keleluasaan terhadap peserta didik untuk timbang pikiran dengan pendidiknya. Maka, adanya kolaborasi antara tut wuri handayani dengan ing madya mangun karsa, memberikan peluang dinamis terciptanya hubungan top-down dan down-top yang ideal. Maksud jelasnya, di sini akan timbul sikap tukar pikiran atau koreksi-mengoreksi positif antara anak didik dengan pendidiknya (guru). Sementara itu, dalam momentum apapun setidaknya peran anak didik harus ada, sehingga disegala keputusan melibatkan keputusan anak didik, sebab ide cemerlang tidak harus lahir dari pendidik dan tidak mustahil anak didik mampu memberikan solusi-solusi guna keluar dari suatu problema tertentu.
Di sisi lain, Cheng (tahun 2003) mengatakan bahwa sekolah yang efektifadalah sekolah yang mampu menjalankan fungsinya secara maksimal, baik dari fungsi ekonomi, fungsi sosial, fungsi politis, fungsi budaya maupun dari fungsi pendidikan. Dengan konsep beraucrat ini telah membuka kunci unutk mengarahkan anak didik ke dalam beraneka ragam fungsi sekolah yang efektif tersebut. **Wassalam
Pendidikan merupakan persoalan penting bagi semua negara. Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu, masyarakat dan bangsa. Ketika Jerman menang dalam perang tahun70-an, seorang warganya berkata, “Guru sekolah Jerman telah menang!” Tatkala Perancis kalah dalam Perang Dunia II, seorang warganya berseru, “Pendidikan Perancis telah mundur!” Hal serupa dialami Rusia, sewaktu ia berhasil menaklukkan ruang angkasa dengan Sputnik-nya, orang Amerika berkata heran “Apa yang telah menghancurkan sistem pendidik dan pengajaran kita?!” Kemudian mereka mengoreksi dan merevisinya untuk mempersiapkan para intelektual yang mampu menciptakan masa depan bangsanya.
Pendek kata, manakala stabilitas suatu bangsa terguncang atau kemajuannya terhambat, maka pertama-tama yang ditinjau ulang ialah sistem pendidikan. Hal yang sama pernah dilakukan oleh negara-negara Arab dengan menyelenggarakan Muktamar ke-3 Menteri Pendidikan dan Pengajaran di Kuwait pada bulan pebruari 1968, persis setelah perang 1967. Hal ini dilakukan mengingat tujuan pendidikan sinkron dengan tujuan hidup bangsa, yaitu melahirkan individu, keluarga, masyarakat yang saleh, serta menumbuhkan konsep-konsep kemanusiaan yang baik diantara umat manusia dalam mencapai suasana saling pengertian di dunia internasional. Apalagi, Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia untuk mampu memikul taklif (tugas hidup) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk maksud tersebut, manusia telah diciptakan lengkap dengan potensinya yang berupa akal dan kemampuan belajar.
Tantangan pendidikan Indonesia kita saat ini pada umumnya amat dipengaruhi oleh pandangan hidup barat yang bercorak ateistik, sekuleristik, materialistik, rasionalistik, empiris dan skeptis. Akibatnya, lulusan dunia pendidikan kita ini cenderung berubah orientasi dan pola hidupnya ke arah hedonistik dan individualistik yang gejala-gejalanya antara lain kurang menghargai nilai-nilai agama.
Kecenderungan seperti itu harus diantisipasi jika ingin menempatkan pendidikan pada porsi yang diinginkan. Mau tidak mau, pandangan filosofis di atas hendaknya sedini mungkin diganti dengan pandangan yang positif yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Maka, sudah sepatutnya problematika tersebut menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membangunnya kembali sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang benar. Prioritas pendidikan kita harus diarahkan untuk menghasilkan para lulusan yang memiliki pandangan yang luas, menyeluruh (holistic), serta mampu mengaplikasikannya sesuai dengan tingkat usia anak didik dan zaman. Wawasan luas yang dimaksud adalah suatu wawasan yang melihat pancasila sebagai pembawa misi kedamaian dan kesejahteraan dalam berbagai aspek bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian, maka para siswa yang dihasilkan adalah para siswa yang dapat berinteraksi dengan siapa pun yang membawa kepada nilai-nilai kebenaran dan kedamaian dan berupaya mewujudkan nilai-nilai pancasila tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.
***
Ada seorang antropolog yang memiliki concern yang tinggi untuk melakukan penelitian tentang Indonesia, menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius yang sebagian besar memeluk agama Islam. Memang tidak ada alasan untuk menolaknya sebagai ciri khas dan karakter yang melekat pada simbol masyarakat Indonesia. Meskipun secara sadar kita mengakui bahwa tingkat religiusitas masyarakat kita masih relatif rendah. Hal ini bisa dipahami, karena tingkat kualitas religiusitas yang rendah itu semata lahir dari suatu akulturasi yang salah dan merupakan dampak dari arus globalisasi.
Meskipun kenyataan berbicara demikian, kita berharap religiusitas itu akan tetap menjadi ciri khas dan karakter khusus masyarakat Indonesia yang paling sentral dan dominan. Untuk itu kita memerlukan suatu sistem pendidikan alternatif yang bisa mempertahankan sekaligus memberdayakan ciri khas itu. Dan itu hanya ada dalam pendidikan pesantren. Mengapa pendidikan pesantren yanga harus menjadi pilihan alternatif? Apa landasannya?
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi hal ini, diantaranya adalah : Pertama, Pondok Pesantren (selanjutnya disingkat: Ponpes) dengan panca jiwanya (keikhlasan, kebebasan, ukhuwah islamiyah, kesederhanaan dan kemandirian) adalah wujud nyata dari otonomisasi yang sudah dijabarkan oleh Ponpes semenjak ia berdiri. Jiwa keikhlasan adalah merupakan potensi yang fundamental yang sudah hamper pudar di lembaga-lembaga lainnya, bahkan telah menjunjung tinggi nilai kebendaan semata. Jiwa kebebasan yang dikembangkan Ponpes adalah kebebasan yang menjungjung tinggi etika dan akhlak. Ukhuwah islamiyah telah menjadi malakah bagi santri-santrinya sehingga suasana hidup rukun, bersaudara, dan saling menghormati perbedaan-perbedaan pendapat baik antara kyai-santri ataupun santri dengan sesamnya. Sementara kesederhanaan dan kemandirian yang ditanamkan pada para santri telah membentuk dirinya menjadi kader umat yang tangguh dan siap ditampilkan dimana pun ia berada.
Kedua, selain identik dengan makna dan simbol-simbol keislaman, Ponpes juga mengandung makna dan simbol-simbol keaslian Indonesia (indogenous). Ponpes lahir lewat akulturasi yang damai dan sejuk antara nilai-nilai dan ajaran Islam dengan budaya asli bangsa bangsa Indonesia yang berbasis animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketiga, kemampuan Ponpes untuk tetap eksisdan survive di tengah-tengah arus globalisasi dan penetrasi budaya baru yang sangat luar biasa. Hal ini disebabkan unsur esensial yang dimiliki Ponpes, salah satunya adalah proses pendidikannya berlangsung selama 24 jam penuh. Artinya, kegiatan rutinas para murid (biasa disebut; santri) setiap harinya sudah terprogram mulai dari shalat tahajjud bersama dan diikuti dengan kegiatan lainnya hingga sampai jam 23.00 Wib. Perihal ini seolah hendak mengubah idiom orang barat “time is money” menjadi “time is studying”. Selain dari pada itu, hubungan komunikasi antara kyai dengan santri (top-down) berlangsung kondusif, dan kesedian kyai yang terbuka lebar (no limit) memberikan kesempatan kepada para santri untuk berdialog langsung apabila mendapat persoalan sekalipun tidak begitu pelik.
Keempat, belakangan ini Ponpes telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa, dengan berdirinya perguruan tinggi di dalam lingkungannya. Padahal, Ponpes dan perguruan tinggi terdapat banyak perbedaan baik secara institusional, filosofis, dan kultural. Walaupun dua lembaga pendidikan ini memiliki perbedaan yang mendasar, tetapi sudah mulai melekat satu sama lain. Barang kali inilah yang disebut oleh Malik Fajar (mantan rektor Unmuh Malang), sebagai fenomena pascamodern, dimana berkembang suatu realitas dunia yang mulai memperlihatkan suatu unitas, tetapi sekaligus didalamnya ada pluralitas. Ponpes yang sudah merintis perguruan tinggi antara lain; Ponpes Darul Ulum Jombang dengan Universitas Darul Ulum (UNDAR)-nya, Ponpes Tebuireng Jombang dengan Institut Kyai Haji Hasyim Asy`ari, Ponpes Bata-bata dengan STAI Al-Khairat, Ponpes Miftahul Ulum Bettet dengan Universitas Islam Madura (UIM), Ponpes Al-Amien Prenduan dengan Institut Dirosah Islamiyah Al-Amien (IDIA), Ponpes An-Nuqayah Guluk-guluk dengan STIKA, dan lain sebagainya. Langkah sintesa konvergensi ini kemudian diikuti oleh Ponpes kecil lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan dari alumnus perguruan tinggi pesantren ini lahir ulama, cendekiawan, wiraswastawan yang memiliki intelektual dan integritas moral yang tinggi.
Setelah menghayati deskripsi singkat tentang keunggulan Ponpes di atas, maka sudah selayaknya bagi kita untuk menyepakati dan ikut membantu langkah-langkah aksi yang dapat kita perbuat untuk mewujudkan sistem pendidikan Ponpes sebagai suatu sistem pendidikan Indonesia di era globalisasi dan otonomi daerah seperti sekarang ini. Setidaknya ada beberapa cara yang bisa kita lakukan guna mewujudkan tindakan yang dimaksud. Pertama, mensosialisasikan informasi tentang sistem pendidikan Ponpes dengan melakukan pelurusan penjelasan mengenai suara-suara minus terkait pendidikan di Ponpes, sekaligus memberikan pandangan yang benar dan objektif kepada masyarakat luas. Tugas ini terutama berada di punggung pers dan kalangan pelaku media massa dan ulama. Kedua, memberikan prioritas pada pengadaan prasarana infra dan supra struktur kepada Ponpes guna melaksanakan pengoptimalan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan pelatihan-pelatihan yang telah dicanangkannya. Ini adalah salah satu tugas pemerintah daerah bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan, pelatihan dan penelitian. Ketiga, melakukan penelitian yang intensif, untuk kepentingan penyusunan konsep yang up-todate, sehingga dapat diterapkan dalam rangka mewujudkan suatu sistem pendidikan Indonesia yang ideal. Para cendekiawan muslim terutama bertanggung jawab terhadap tugas ini. Keempat, mencari dan memberi dukungan partisipasi aktif baik berupa material maupun immaterial, posisi ini ada di tangan mahasiswa dan masyarakat.
Kiranya kesempatan di dalam tulisan singkat ini diharapkan mampu menjadi awal yang baik. Walaupun banyak problema yang sedang melanda Ponpes, tetapi kita tidak perlu berkecil hati. Sebab melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, terutama yang menyangkut beragam kenakalan remaja, masyarakat semakin sadar bahwasanya peristiwa itu semua terjadi karena faktor kurangnya pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah. Ini satu keuntungan tersendiri bagi pengelola Ponpes untuk menunjukkan bahwa pendidikan Ponpes salah satu alternatif pendidikan di masa depan. Dan bagaimana pun kesemuanya itu tergantung atas kesepakatan dan “good will” dari seluruh stakeholder yang ada di dalamnya. **Wassalam.